Suararakyat.id – Nyadar adalah kebudayaan tradisi masyarakat petani garam Desa Pinggir Papas. Nyadar ialah semacam bakti syukur atas anugerah yang diberikan Tuhan. Tradisi ini dilakukan di sekitar komplek makam leluhur, yang lebih dikenal dengan nama Bujuk Gubang. Budaya ini biasanya dilakukan tiga kali dalam setahun, berturut-turut dengan rentang waktu satu bulan berselang. Pada Nyadar ketiga biasa mereka sebut dengan Nyadar Bengko. Lokasi Upaca adat tersebut berada di di Desa Kebundadap Barat dan Desa Pinggir Papas.
Tradisi ini memang terbilang unik, karena hanya di lakukan oleh masyarakat Desa Pinggir papas Sumenep. Ada beberapa syarat sehubungan dengan pelaksanaan Nyadar. Syarat tersebut erat kaitan dengan peringatan Maulid Nabi. yaitu pertama, pelaksanaan upacara tidak diperbolehkan diadakan sebelum tanggal 12 Maulid.
Kedua, selamatan tidak boleh melebihi besarnya selamatan yang diadakan untuk memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW.
Dan ketiga, adalah para peserta upacara Nyadar terlebih dahulu diwajibkan untuk merayakan Maulid Nabi Muhammad SAW.
Dari syarat tersebut menandakan bahwa Nyadar tumbuh dan berkembang setelah Islam masuk. Selain itu juga bahwa penghormatan terhadap leluhur mereka tidak boleh melebihi penghormatan terhadap Rasulullah.
Di Nyadar ketiga, pada malam harinya biasanya diikuti dengan kesenian mocopat atau membaca layang. Dimana tulisannya masih menggunakan tulisan Jawa kuno dengan media daun lontar. Jalannya cerita dalam mocopat tersebut, yang pertama adalah Jatiswara, yang mengisahkan jalannya nyawa dan raga dari perjalanan hidup manusia. Kemudian yang kedua ceritanya Sampurnaning Sembah. mengisahkan jalannya bakti manusia kepada sang Pencipta, atau hal Syari’at.
Sejarah awal mula Nyadar adalah Dikisahkan, pada suatu malam Pangeran Anggasuto melakukan Istikharah. Memohon kepada Tuhan yang maha Esa, sumber hidup atau mata pencaharian baginya. Tuhan mengabulkan dan memberinya petunjuk. Pangeran Anggasuto semacam diminta untuk berjalan menuju pesisir pantai. Karena tanah di pantai itu begitu lembek, hingga membentuk tapak kakinya.
Selang waktu berjalan, bekas tapak kaki tersebut terisi oleh air laut. Dijumpainya bekas tapak kaki itu dipenuhi oleh benda yang berwarna putih. benda itu kemudian oleh Pangeran Anggasuto disebut dengan Buja, yang merupakan istilah bahasa Madura untuk garam. Maka jadilah daerah tersebut dengan hamparan ladang garam, dan mayoritas masyarakatnya mempunyai mata pencaharian sebagai petani garam. (Sol)