Menakar Politik Afirmasi Perempuan Pada Pemilu 2024

Redaksi
By Redaksi
5 Min Read

Kebijakan penetapan kuota 30 persen politik afirmasi perempuan tidak dilaksanakan secara konsisten dari pemilu ke pemilu. Minimnya keterwakilan perempuan dalam pemilu 2024 tidak bisa dilepaskan dari kondisi sosial budaya masyarakat. Demikian kepemimpinan perempuan dalam posisi-posisi strategis di kursi parlemen pun masih kurang. Untuk mengubah hal tersebut, diperlukan pendidikan demokrasi dalam keluarga.

SUARA PEREMPUAN – Hasil studi Bank Dunia menunjukkan bahwa ketika perempuan dan laki-laki memiliki kesempatan yang sama untuk aktif secara politik dan membuat keputusan atau kebijakan, maka akan muncul kebijakan-kebijakan yang lebih representatif dan inklusif untuk mencapai pembangunan suatu bangsa.

Disamping itu, keterwakilan perempuan tidak akan efektif ketika pengetahuan, pemahaman dan keterampilan politik serta pemahaman kesetaraan gender yang rendah. Oleh karena itu, semua pihak harus bekerja sama untuk membuka ruang seluas-luasnya bagi perempuan, tidak hanya kesempatan dalam berpartisipasi dan terlibat dalam ruang publik, tetapi juga memperluas pemahaman dan meningkatkan keterampilan politiknya. Sehingga nantinya ketika mereka berada di kursi parlemen, muncul suatu kebijakan yang lebih responsif, inklusif dan humanis. 

Dalam hal ini peran partai politik sangat diperlukan dalam mendorong partisipasi perempuan di dunia politik. Tugas partai politik ialah mencari dan mengajak perempuan yang memiliki kompetensi untuk berpartisipasi aktif dalam menyuarakan aspirasinya dan merumuskan kebijakan yang pro perempuan dalam payung kesetaraan. 

Hak-Hak Politik Perempuan

Pada periode pertama dari perjalanan hukum Islam persoalan peran publik perempuan telah menjadi agenda perbincangan yang intens, pun demikian juga mengenai perdebatan ulama seputar hak politik perempuan.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik dan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD. UU No 2/2008 mengharuskan partai politik menyertakan keterwakilan perempuan minimal 30 persen dalam pendirian maupun dalam kepengurusan di tingkat pusat maupun di tingkat daerah.

Hasil Pemilu 2009 menunjukkan keterwakilan perempuan sebesar 18 persen atau 101 orang, Pemilu 2014 mencapai 14,32 persen atau sebanyak 97 orang, sedangkan pada Pemilu 2019 mencapai 20,5 persen atau 118 orang (Kompas.com, 26/07/2019). Namun meski hal ini menunjukkan tren positif, lagi-lagi keterwakilan perempuan belum mampu memenuhi kuota 30 persen yang ditawarkan pemerintah. Maka hal tersebut memang wajar jika komposisi perempuan di legislatif hasil pemilu belum memenuhi standar karena memang belum menjadi amanat yang tegas.

Sejalan dengan pernyataan Asep Sahid Gatara Ketua Jurusan Ilmu Politik FISIP UIN Sunan Gunung Djati Bandung, ia menyampaikan jika selama ini sistem pemilu dirasa belum ramah perempuan karena lebih banyak menekankan ”kontestasi rimba”. Artinya semua calon didefinisikan sekaligus diposisikan memiliki kekuatan yang sama. Padahal kenyataanya ada ketimpangan kekuatan, terutama kekuatan dalam aspek isi tas (modal finansial) dan popularitas sang calon.

Perempuan dukung perempuan

Umumnya ciri khas perempuan memiliki kemampuan empati yang tinggi, (yang) pada umumnya tidak dimiliki politisi lainnya. Banyak peran yang bisa dipilih oleh seorang perempuan. Tidak hanya sebagai pemilih, perempuan juga dapat menjadi peserta, pengawas atau bahkan penyelenggara hingga tingkat ad hoc.

Maka sudah menjadi keharusan dan penting bagi seluruh perempuan di seluruh Indonesia untuk saling mendukung, saling memotivasi, saling menginspirasi sesama perempuan lainnya.

Para perempuan yang bertindak sebagai pemilih harus mampu memberi dukungan kepada calon legislatif perempuan yang dianggap memiliki kompetensi yang sesuai dengan bidangnya. Sebab kekuatan dukungan dari perempuan, oleh perempuan dan untuk perempuan akan mampu memberikan kekuatan besar untuk mengisi kekosongan keterwakilan kuota 30 persen perempuan di kursi parlemen.

Pendidikan demokrasi dalam keluarga

pentingnya peran perempuan dalam kancah perpolitikan membuat seluruh elemen harus bahu-membahu memberikan penyadaran dan pemberdayaan pendidikan demokrasi kepada perempuan.

Kaum perempuan menjadi ujung tonggak komunikasi di keluarga. Oleh karena itu, penyadaran atas pentingnya pendidikan politik bagi perempuan harus dimulai dari level keluarga, dimana lingkungan keluarga memiliki pengaruh penuh terhadap mindset seseorang.

Pendidikan politik bagi perempuan bertujuan untuk:

  1. Meningkatkan pengetahuan dan pemahaman perempuan tentang hak dan kewajiban sebagai warga negara
  2. Meningkatkan pemahaman peran perempuan dalam hal politik
  3. Meningkatkan pemahaman dan keterampilan tentang kepemimpinan
  4. Meningkatkan kesadaran kritis perempuan terhadap pembangunan berkelanjutan yang berkeadilan gender.

Secara garis besar keluarga mempunyai peranan yang sangat penting untuk meningkatkan partisipasi politik perempuan dalam andil perumusan kebijakan dalam pemerintahan.

Penulis : Solehatun Munawaroh, Pimpinan Redaksi Suararakyat.id

Share This Article