Dunia Kerja Masih Sarat Pelanggaran HAM, Senator Jilbab Ijo Lia Istifhama Dorong Pembentukan Regulasi Inklusif

3 Min Read
Dunia Kerja Masih Sarat Pelanggaran HAM, Senator Jilbab Ijo Lia Istifhama Dorong Pembentukan Regulasi Inklusif

SURABAYA, suararakyat.id – Anggota DPD RI asal Jawa Timur, Dr. Lia Istifhama, menegaskan komitmennya untuk memperjuangkan lahirnya produk hukum yang berpihak pada tenaga kerja dan menjunjung tinggi prinsip hak asasi manusia (HAM). Menurutnya, dunia kerja masih menyimpan potensi besar terjadinya pelanggaran HAM yang perlu mendapat perhatian serius dari pembuat kebijakan.

Ning Lia sapaan Lia Istifhama mengungkapkan, praktik ketidakadilan dalam hubungan kerja masih sering terjadi, mulai dari pemaksaan pengunduran diri (forced resignation), pemutusan hubungan kerja (PHK) sepihak, diskriminasi pemberian Tunjangan Hari Raya (THR), hingga perlakuan tidak adil terhadap pekerja dengan kondisi tertentu, seperti orang tua yang memiliki anak berkebutuhan khusus (ABK).

“Tenaga kerja adalah manusia yang punya martabat. Jangan sampai ada perlakuan yang memanusiakan sebagian orang tetapi mengabaikan yang lain. Saya pernah mengalami sendiri bagaimana perjuangan menyelamatkan perusahaan dari kerugian miliaran rupiah, tetapi kemudian justru menghadapi tekanan karena faktor politik. Itu membuktikan diskriminasi dan pelanggaran HAM di dunia kerja nyata adanya,” ungkap Ning Lia di sela-sela sebagai narasumber Workshop Analisa dan Penelaahan Produk Hukum Daerah dari Perspektif HAM, Selasa (12/8).

Menurut perempuan yang akrab disapa Senator Jilbab Ijo itu, pengalaman tersebut memberinya perspektif bahwa produk hukum harus melindungi semua pekerja secara adil, tanpa memandang latar belakang atau kondisi pribadi. Termasuk memberikan afirmasi bagi pekerja yang memiliki tanggung jawab merawat anggota keluarga difabel atau ABK, agar mereka tetap mendapatkan hak-haknya, seperti hak cuti, hak istirahat, dan hak mendapatkan fasilitas kerja yang memadai.

Selain itu, Senator Jatim itu mengungkap pentingnya kebijakan inklusif yang diatur dalam produk hukum daerah maupun nasional, agar prinsip humanisme benar-benar terimplementasi.

“Di Eropa, tingkat humanisme tinggi karena setiap orang dihargai tanpa diskriminasi. Kita harus mengarah ke sana. Kebijakan inklusif bukan sekadar wacana, tapi harus masuk dalam peraturan daerah maupun nasional,” tegasnya.

Ning Lia mengingatkan bahwa pelanggaran HAM tidak hanya berbentuk kekerasan fisik, tetapi juga termasuk pelecehan seksual, tekanan psikologis, dan perlakuan diskriminatif. Ia mencontohkan ketentuan dalam UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM yang mengatur pidana berat bagi pelanggaran serius. Penegakan hukum terhadap pelaku pelecehan seksual, khususnya pada anak-anak dan ABK, harus ditegakkan tanpa kompromi.

“Penegakan hukum terhadap kejahatan kemanusiaan, termasuk pelecehan seksual, adalah wajib. Hukuman kebiri memang kontroversial, ada yang menilai melanggar HAM, tetapi kita juga tidak boleh mengabaikan penderitaan korban. Namun, perlindungan terhadap korban harus menjadi prioritas,” tegas Ning Lia.

“Saya berharap pembuat kebijakan di tingkat daerah dan pusat mampu melahirkan regulasi yang berpihak pada tenaga kerja, melindungi kelompok rentan, dan menegakkan prinsip humanisme di setiap aspek kehidupan kerja,” harapnya. (*)

Share This Article