OPINI – Pada Selasa (31/10/2023) Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) melaksanakan sidang pertama mengenai laporan dugaan pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku hakim yang dilakukan oleh Ketua MK Anwar Usman. Dalam perkara ini MKMK mendatangkan 4 pelaporyakni Denny Indrayana, Zico Leonard Djagardo Simanjuntak, LBH Yusuf dan perwakilan 15 guru besar/akademisi yang tergabung dalam Constitusional and administarative law society (CALS). MenurutViolla Reininda selaku kuasa hukum dari CLAS terdapat potensi Conflict of Interest atau konflik kepentingan ketika memeriksa dan mengadili Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023, yang mana putusan tersebuttentang persyaratan usia minimal bagi calon presiden dan/atau wakil presiden yang dialternatifkan bagi calon yang pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilu termasuk pilkada , maka dengan diputusnya perkara ini yang menimbulkan putusanyang final, dan mempermudah kepentingan Gibran Rakabuming Raka sebagai Wakil Presiden berpasangan dengan Prabowo sebagai Presiden ke Komisi Pemilihan Umum, dengan salah satunnya memanfaatkan ketentuan baru terkait syarat umur dalam putusan tersebut.
Dalam halinipara pelapor berpikir bahwa Anwar Usmanmemiliki Conflict of Interest atau Konflik Kepentingan, melanggar Prinsip kecakapan dan keseksamaan dikarenakan tidak menjalankan fungsi kepemimpinan dengan optimal dan tidak menegakkan hukum dengan sebagaimana mestinya. Apa itu Conflict of Interest atau Konflik Kepentingan, menurut Pasal 1 Angka 14 Undang-Undang Nomor30Tahun 2014 Konflik kepentingan adalah kondisi Pejabat Pemerintahanyang memiliki kepentingan pribadi untuk menguntungkan diri sendiri dan/atau orang lain dalam penggunaan wewenang sehingga dapat mempengaruhi netralitasdan kualitas Keputusan dan/atau Tindakan yang dibuat dan /atau dilakukannya.
Konflik kepentingan dipermasalahkan dan menjadi sebuah tindakan yang tidak etis. Pertama, konflik kepentingan mempengaruhi kepentingan publik atau kantor untuk keuntungan pribadi. Kedua, konflik kepentingan dapat mempengaruhi pengambilan keputusan yang bertujuan untuk meluluskan kepentingan pribadi. Diatur dalam Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun2014 disebutkan bahwa konflik kepentingan terjadi apabila dalam menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau tindakan dilatarbelakangi adanya kepentingan pribadi dan/atau bisnis; hubungan dengan kerabat dan keluarga;hubungan dengan wakil pihak yang terlibat;hubungan dengan pihak yang bekerja dan mendapat gaji daripihakyangterlibat; hubungan dengan pihak yang memberikan rekomendasi terhadap pihak yang terlibat; dan/atauhubungan dengan pihak-pihak lain yang dilarang oleh ketentuan peraturan perundang-undangan. Maka seharusnya yang dapat dilakukan oleh Anwar Usman adalah mundur saat mengetahui adanya perkara Nomor 90/PUU-XII/2023 dikarenakan langsung berkenaan dengan keluarganya, yakni Presiden Joko Widodo dan Gibran Rakabuming Raka. hal ini sudah jelas diatur dalam Pasal 17 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009Tentang Kekuasaan Kehakiman yang menjelaskan bahwa Seorang Hakim wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga, atau hubungan suami atau istri meskipun telah bercerai, dengan ketua, salah seorang hakim anggota, jaksa, advokat atau panitera.
Maka dengan adanya laporan ini Langkah yang diambil Mahkamah Kehormatan Mahkamah Konstitusi adalah memutuskan Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman dengan putusan sebagai berikut ;
- Melakukan pelanggaran sebagaimana tertuang dalam Sapta Karsa Hutama Prinsip Ketaberpihakan, Prinsip Integritas, Prinsip Kecakapan dan Kesetaraan, Prinsip Independensi serta Prinsip Kepantasan dan Kesopanan.
- Menjatuhkan sanksi pemberhentian dari jabatan Ketua Mahkamah Konstitusi
- Dengan ini Anwar Usman tidak berhak mencalonkan diri atau dicalonkan sebagai pimpinan MK sampai masa jabatannya berakhir.
- Anwar Usman juga tidak diperbolehkan terlibat ataupun melibatkan diri dalam pemeriksaan dan pengambilan Keputusan dalam perkara perselisihan hasil pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, Pemilihan Anggota DPR, DPD, dan DPRDserta Pemilihan Gubenur, Bupati dan Walikota yang memiliki potensi timbulnya benturan kepentingan.
Penjatuhan putusan ini pun dengan pertimbangan hakim yang mana salah satunya mengenai dugaan hakim Terlapor sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi tidak menjalankan fungsi kepemimpinan (judicial leadership) secara optitmal dan juga tidak menjalankan dan menegakkan hukum acara pemeriksaan Mahkamah Konstitusi secara fair sebagaimana didalilkan oleh Pelapor CALS, hakim berpendapat bahwa Sebagai bagian daari struktur peradilan, peran seorang Ketua Mahkamah Konstitusi sangat penting dan strategis dalam meastikan lembaga berjalan dengan baik dan tetap mempertahankan indepensi serta integritasnya. Tindakan yang ditetapkan oleh Ketuaakan menjadi contoh bagi hakim dan staf lainnya. Berkaitan dengan ketidakmampuan Hakim terlapor untuk menjaga focus pada tugas-tugas utama Mahkamah Konstitusi, perlu diperhatikan bahwa ketika pimpinan utamaLembaga tidak memberikan prioritas utama pada tugas pokok Lembaga tersebut hal ini memiliki potensi merusak struktur dan kinerja Mahkamah Konstitusi.
Dalam putusan ini terdapatPendapat Berbeda (Dissenting Opinion) yakni dari anggota Majelis Kehormatan Bintan R. Saragih yang menyatakan bahwa“pemberhentian tidak dengan hormat” kepada Hakim Terlapor terbuktimelakukan pelanggaran berat. Sanksi terhadap “Pelanggaran Berat” hanya “Pemberhentian tidak dengan Hormat” dan tidak ada sanksi lain sebagaimana diatur pada Pasal 41 huruf c dan Pasal 47 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 1 Tahun 2023 tentang Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi. Menurutnya dikarenakan latar belakangnya sebagai akademisi hukumsehingga ia berfikir dan berpendapat selalu konsisten sebagi seorang ilmuan atau akademisi, oleh karena itu , dalam memandang dan menilai sesuatu masalah, peristiwa, keadaan, gejala yang ada selalu berdasarkan apa adanya. Itulah sebabnya dalam memberi putusan pada pelanggaran Kode Etik dan perilaku Hakim Konstitusi a quo , ia memberi putusan sesuai aturan yang berlaku dan Tingkat pelanggaran Kode Etik yang terjadi dan terbukti yakni sanksi sebagai Hakim Terlapor berupa pemberhentian tidak dengan Hormat sebagai Hakim Konstitusi. Demikian artikeliniditulis harapan dari penulis adalah Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu kekuasaan kehakiman mempunyai peranan penting untuk menyelenggarakan peradilan sesuai dengan kewenangan dan kewajibannya sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang, DasarNegara Republik Indonesia Tahun 1945.
Penulis: Fadilatin Choirotunnisah_Universitas Trunojoyo Madura