SURABAYA, suararakyat.id – Anggota DPD RI Lia Istifhama mendukung Langkah Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam memperketat regulasi industri pinjaman online (pinjol).
Anggota DPD RI asal Jawa Timur yang juga dikenal senator Jilbab Ijo itu menyebut bahwa pembatasan dan seleksi ketat terhadap perusahaan pinjol merupakan langkah positif dan penting untuk melindungi masyarakat dari jeratan utang jangka panjang yang menyamar sebagai kemudahan instan.
“Positif jika ada pembatasan pinjol, karena jangan sampai ada kemudahan di awal tapi kesulitan di depan. Alias manis di awal, pahit kemudian,” kata Lia Istifhama, Senin (14/7/2025).
“Pinjol justru membuat orang terkaburkan oleh kemudahan mendapat pinjaman, tapi hanya berujung menjadi debitur abadi,” tambah anggota DPD RI pemilik tagline Cantik (Cerdas Inovatif dan Kreatif)dengan nada prihatin.
Pernyataan Dr. Lia ini datang seiring kebijakan terbaru OJK yang meminta perusahaan fintech peer-to-peer (P2P) lending memenuhi ekuitas minimum sebesar Rp12,5 miliar pada Juni 2025. Data OJK menunjukkan, dari total 96 perusahaan pinjol legal, masih ada 14 yang belum memenuhi persyaratan tersebut, dan berpotensi kehilangan izin operasional.
Kepala Eksekutif Pengawas PVML OJK, Agusman, mengungkapkan bahwa beberapa dari perusahaan tersebut telah menyampaikan rencana merger atau tengah menjajaki kerja sama dengan investor strategis. Upaya ini dinilai penting untuk memperkuat daya saing dan ketahanan industri pinjaman online di tengah tantangan ekonomi dan tekanan citra buruk akibat kasus gagal bayar.
“Regulasi ini bukan semata membatasi, tapi justru menyaring yang benar-benar sehat dan bertanggung jawab,” tegas Ning Lia.
“Jangan sampai masyarakat menjadi korban karena kurangnya pengawasan dan longgarnya regulasi.”
Dalam konteks ini, Lia Istifhama juga menyoroti pentingnya literasi keuangan, terutama bagi kalangan muda dan masyarakat rentan. Menurutnya, kemudahan akses pinjaman secara digital tanpa pemahaman yang memadai justru membuka peluang praktik predatoris dari pelaku usaha yang tidak beretika.
Seiring kebijakan ekuitas minimum dan tren merger, pengamat memprediksi jumlah perusahaan pinjol akan menyusut drastis, dari 97 entitas menjadi sekitar 80 perusahaan pada akhir 2025. Meski jumlahnya berkurang, namun dari sisi kualitas diharapkan terjadi perbaikan signifikan.
Direktur Eksekutif Celios, Nailul Huda, menyebut bahwa fenomena ini merupakan bentuk konsolidasi yang sehat. “Modal besar dan merger akan memperkuat struktur perusahaan dan menekan angka pinjol abal-abal,” ujarnya.
Senada, Direktur Eksekutif INDEF, Esther Sri Astuti, menilai sektor pinjol masih menjanjikan, terutama karena mampu menyasar segmen masyarakat yang belum terlayani lembaga keuangan konvensional (unbankable). Namun, ia mengakui tantangan besar justru terletak pada integritas perusahaan dan perlindungan konsumen.
Menariknya, regulasi OJK juga membuka peluang besar bagi pinjol berbasis syariah. Heru Sutadi dari Indonesia ICT Institute menyebut model bisnis berbasis akad syariah lebih menjanjikan karena menyasar investasi etis dan halal. Dengan dukungan investor dari lembaga keuangan syariah, segmen ini dinilai berpotensi besar menopang pembiayaan sektor produktif seperti UMKM.
Namun, Heru juga mengingatkan rendahnya literasi keuangan syariah masih menjadi tantangan besar.
Menutup pernyataannya, Ning Lia Istifhama menegaskan bahwa kehadiran regulasi tegas dari OJK harus didukung penuh semua pihak, termasuk pemerintah daerah dan lembaga pendidikan, dengan memperkuat edukasi literasi keuangan dan kewaspadaan digital.
“Kita tidak bisa membiarkan rakyat menjadi korban skema hutang abadi. Jika ada regulasi yang berpihak kepada masyarakat, maka itu wajib kita dukung!” tandasnya.
Dengan langkah-langkah pembenahan dari OJK dan perhatian serius dari senator muda seperti Lia Istifhama, harapan akan ekosistem fintech yang sehat dan berpihak pada rakyat kecil tampaknya bukan sekadar angan.
Senator Jilbab Ijo Lia Istifhama Dukung Pembatasan Pinjol OJK : Manis di Awal, Pahit Kemudian
