Penulis: Nuril Fahmi, Universitas Trunojoyo Madura
ARTIKEL – Wong Samin, begitulah biasanya masyarakat Jawa Timur mengenalnya. Hidup dengan ajaran saminisme, Suku Samin memiliki keistimewaan dimana mereka secara tidak langsung tidak pernah terjajah oleh Belanda. Hal ini dikarenakan dalam ajaran saminisme yang mereka anut, mengajarkan sedulur sikep dimana mereka mengobarkan semangat perlawanan terhadap kolonial Belanda dengan menolak membayar upeti (pajak) dan menolak segala peraturan yang dibuat oleh pemerintahan Belanda. Selain itu, saminisme juga mengajarkan kepada para pengikutnya untuk selalu jujur, menghilangkan rasa iri dan dengki serta prasangka buruk terhadap orang lain.
Meskipun sikap masyarakat Samin cukup beralasan, namun sebagian orang memandang buruk mereka dengan menganggap mereka sebagai pembangkang. Sampai pada akhirnya masyarakat Samin memutuskan untuk mengisolasi diri dan memilih untuk hidup sederhana di dalam hutan hingga keberadaan mereka dianggap menghilang, tanah pemukiman mereka seolah terlupakan. Hingga 18 tahun setelah proklamasi kemerdekaan dibacakan oleh Presiden Soekarno, di tahun 1963 mereka baru mendapatkan kepastian bahwa Indonesia telah merdeka.
Jejak Sejarah Suku Samin
Mengutip dari buku Samin : Kajian Sosiolinguistik Bahasa Dan Perlawanan karya Hari Bakti Mardikantoro, nama Samin berasal dari nama tokoh masyarakat itu, yakni Samin Surosentiko yang merupakan Pangeran keturunan Kusumoningayu yang saat itu memerintah Kabupaten Sumoroto (Tulungagung). Samin Surosentiko lahir tahun 1859 di Desa Ploso Kediren, Kecamatan Randublatung, Kabupaten Blora dengan nama asli Raden Kohar namun berubah menjadi Samin, yakni sebuah nama yang bernafaskan kerakyatan.
Pada tahun 1890, Samin Surosentiko mulai mengembangkan ajarannya di daerah Klopoduwur, Blora. Ajaran tersebut merupakan pegembangan prinsip-prinsip dasar yang dipakai sebagai falsafah hidup suku Samin. Saat itu pemerintah Belanda menganggap sepi ajaran tersebut dan hanya dianggap sebagai ajaran kebatinan atau agama baru yang remeh-temeh, namun pada tahun 1907 pengikut samin sudah berjumlah sekitar 5000 orang. Pemerintah mulai was-was sehingga banyak pengikut Samin yang ditangkap dan dipenjarakan. Samin Surosentiko ditangkap dan dibuang keluar Jawa (ke Kota Padang, Sumatera Barat) dan meninggal di Padang pada 1914. Perlawanan Suku Samin memang tanpa kekerasan, melainkan dengan gerakan ‘mogok’ yang mereka lakukan, akan tetapi tindakan mereka membuat pemerintah Belanda sangat jengkel dan dengan berbagai upaya menghancurkan Samin Surosentiko dan pengikut-pengikutnya, baik di Blora, Bojonegoro, Pati, Rembang, Ngawi, maupun Kudus.
Suku Samin terus melakukan pembangkangan dan penolakan kepada pemerintah Belanda dengan cara yang cukup unik. Misalnya saat membayar upeti, Petugas pemerintahan Belanda disambut dengan pertanyaan Iki dhuwite sapa? ‘Ini uang siapa?’ sambil menyodorkan uang mereka. Lalu ketika petugas menjawab Ya dhuwetmu ‘Ya uangmu’, maka mereka langsung memasukkan uang tersebut ke sakunya sendiri. Mereka pun beranggapan tidak perlu membayar pungutan apapun karena hidup dan usaha di tanah milik mereka sendiri. Orang Samin juga tidak mau menghormati pamong desa, polisi, dan aparat pemerintah lainnya, mereka memandang aparat pemerintah dan polisi seperti badut-badut belaka. Perlawanan semakin bergejolak setelah pemerintah Belanda gencar meneror Suku Samin, hingga sekitar tahun 1930-an perlawanan gerakan Samin terhadap pemerintah kolonial menguap dan terhenti.
Identitas dan Ciri Khas Suku Samin
Masyarakat Samin dikenal memiliki kepribadian yang jujur dan polos, mereka memiliki kepercayaan yang sangat kuat atas kebenaran ajaran yang mereka anut dan hal tersebut dijadikan sebagai pedoman hidup oleh para pengikut ajarannya. Selain karena pengajaran tentang nilai budayanya, masyarakat Samin juga cukup mudah dikenali dari ciri-ciri pakaiannya yang sangat khas. Pakaian kaum laki-laki mereka berupa setelan berwarna hitam gelap dengan potongan cingkrang di lengan dan celananya (celana panjang di atas batas mata kaki dan panjang lengan bajunya tidak sampai menutup pergelangan tangan). Untuk penutup kepala, mereka tidak menggunakan peci seperti orang Melayu ataupun blangkon seperti orang Jawa, mereka lebih sering memakai “iket” atau semacam kain berwarna hitam dengan corak batik khas yang biasa digunakan di bagian kepala mereka. (rayudi, Susilo & Prastiwi, 2016).
Bagi para pengikut ajaran Samin pakaian tersebut bukanlah sekedar pakaian biasa, hal tersebut dikarenakan setiap unsur pakaian yang mereka kenakan mengandung arti dan pesan untuk para pengikutnya. Pakaian berwarna hitam melambangkan manusia adalah tempatnya salah dan dosa sehingga sebagai manusia Samin harus memiliki budi luhur serta tidak tinggi hati dikarenakan selama kita hidup di dunia tidak pernah ada manusia yang suci. Selain itu “iket” yang digunakan di kepala, “bila di ikat maka semua akan mengikuti”, ini bermakna sebagai manusia Samin agar tidak mudah terbawa arus negatif. Lalu celana dan lengan baju yang didesain cingkrang berarti pada dasarnya manusia itu hidup di dunia tidak pernah ada yang sempurna, selalu ada kekurangan dalam diri mereka, oleh karena itu sebagai manusia Samin haruslah rendah hati, tidak boleh menyombongkan diri atas kelebihannya. Makna-makna ini sesuai dengan budaya serta ajaran yang mereka percayai (Prihatin. 2018)