Oleh : Siswadi (Aktivis Jong Sumekar)
Indonesia sedang berdiri di ambang sejarah: berada dalam periode bonus demografi, ketika jumlah penduduk usia produktif mencapai puncaknya. Banyak yang menyebut ini sebagai “masa emas”, peluang besar untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan kemajuan bangsa.
Namun, kami bertanya: apa kabar pemuda hari ini? Apakah mereka benar-benar diberdayakan, atau justru ditinggalkan?
Ketika Bonus Menjadi Tekanan
Bonus demografi seharusnya menjadi energi pembangunan. Tapi kenyataan di lapangan sering berkata lain. Di banyak daerah, termasuk di Madura, anak muda kehilangan arah:
Lulus sekolah, sulit cari kerja.
Ingin usaha, tak punya akses modal dan pelatihan.
Ingin belajar lebih tinggi, terkendala biaya.
Punya ide dan gagasan, tapi tidak diberi panggung.
Apakah ini yang dimaksud dengan bonus?
Kalau anak muda hanya jadi penonton dalam pembangunan, bonus demografi tak ubahnya jadi tekanan demografi, bahkan bencana generasi.
Negara Jangan Sibuk Berteori
Sudah terlalu lama istilah bonus demografi hanya jadi jargon di forum-forum resmi. Sementara itu, realitas di desa-desa dan kota-kota kecil tak pernah masuk radar kebijakan. Kita butuh keberpihakan nyata:
– Pendidikan vokasi dan digitalisasi keterampilan
– Akses wirausaha pemuda di sektor pertanian, perikanan, industri kreatif
– Dukungan finansial untuk pemuda pelopor
– Keterlibatan pemuda dalam musyawarah pembangunan
Pemuda bukan beban. Mereka adalah pemilik masa depan yang sedang mencari arah. Tugas negara adalah hadir, bukan hanya lewat slogan, tapi lewat kebijakan yang menjawab kebutuhan nyata.
Dari Madura, Pemuda Bertanya
Sebagai bagian dari anak muda Sumenep, kami di Jong Sumekar ingin menyampaikan satu hal penting: Jangan anggap kami sekedar angka dalam sensus! Kami adalah kekuatan perubahan, jika diberi kepercayaan.
Apa kabar pemuda hari ini?
Jawabannya tergantung: apakah negara mau mendengar suara mereka, atau terus meminggirkan mereka dalam narasi pembangunan?
Penutup: Bonus atau Bencana, Jangan Sampai Menyesal
Waktu kita tidak banyak. Bonus demografi hanya berlangsung dalam hitungan dua dekade. Kalau kesempatan ini lewat tanpa langkah nyata, maka yang akan datang bukan kejayaan, tapi generasi yang kehilangan harapan.
Ini bukan sekadar pertanyaan retoris. Ini adalah alarm sosial: Bonus demografi atau bencana generasi, apa kabar pemuda?