Oleh : Naily Maufiroh (Mahasiswi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan, IPB University dan Junior Researcher ACCES)
OPINI, Suararakyat.id – Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) telah menggagas kebijakan penangkapan ikan terukur sejak 2021, dengan rencana awal penerapan pada Januari 2022. Kebijakan ini digadang gadang sebagai solusi imbang antara prinsip ekonomi dan ekologi dalam pemanfaatan sumber daya perikanan secara berkelanjutan. Namun, berbagai tantangan membuat kebijakan ini ditunda hingga 2025. Apa saja alasan di balik kebijakan tersebut, dan bagaimana dampaknya terhadap sektor perikanan nasional? Idealkah kebijakan ini di terapkan di Indonesia? Pertanyaan ini perlu dijawan sebagai bentuk kesiapan implementasi kebijakan Penangkapan Ikan Terukur.
Penangkapan ikan terukur dirancang untuk menjawab tantangan yang sudah lama dihadapi Indonesia terkait Illegal, Unreported, and Unregulated (IUU) Fishing. Menteri Kelautan dan Perikanan, Sakti Wahyu Trenggono, mengungkapkan bahwa isu IUU Fishing sering menjadi sorotan dalam pertemuan tingkat tinggi internasional, seperti forum High Level Panel on Sustainable Ocean Economy, yang membahas keberlanjutan laut dalam konteks Tujuan SDGs. kebijakan penangkapan ikan terukur dianggap berpotensi menjadi model pengelolaan perikanan berkelanjutan.
Kebijakan Penangkapan Ikan Terukur ini mengatur Wilayah Pengelolaan Perikanan dengan sistem kuota yang terbagi menjadi tiga kategori:
1.Kuota Industri: Diberikan kepada orang perseorangan dan badan usaha berbadan hukum yang melakukan penangkapan diatas 12 mil
2.Kuota Nelayan Tradisional, diberikan kepada nelaya kecil yang terhimpun dalam Koperasi Nelayan.
3.Kuota bukan tujuan komersil, diberikan kepada Pemerintah Pusat, dan Pemerintah Daerah yang melakukan kegiatan dalam rangka pendidikan, pelatihan, penelitian atau kegiatan ilmiah lainnya, serta kesenangan dan wisata.
Tantangan Implementasi PIT
1. Database Perikanan
Sistem kuota yang menjadi inti kebijakan penangkapan ikan terukur didasarkan pada database hasil tangkapan ikan di setiap Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) Negara Republik Indonesia. Namun, kelemahan kronis pada sistem data perikanan nasional menimbulkan keraguan besar terhadap keberhasilan implementasi kebijakan ini. Hingga saat ini, data perikanan di Indonesia masih jauh dari akurat dan terpadu. Banyak wilayah pengelolaan belum memiliki catatan yang konsisten tentang volume tangkapan, jenis ikan, maupun pola musim penangkapan. Ketidakakuratan ini menyebabkan kesenjangan dalam perencanaan kuota, yang seharusnya didasarkan pada data valid untuk memastikan keberlanjutan sumber daya laut.
Ketergantungan pada database yang lemah berpotensi menciptakan ketidakseimbangan dalam distribusi kuota. Lebih jauh, minimnya transparansi dan integrasi data perikanan nasional menimbulkan risiko besar terhadap pengawasan. Tanpa database yang akurat dan real-time, pemerintah kesulitan memantau kepatuhan terhadap kuota di lapangan. Kondisi ini membuka peluang bagi praktik pelanggaran, seperti manipulasi laporan tangkapan dan eksploitasi di luar batas kuota yang ditetapkan.
Kelemahan ini menunjukkan bahwa kebijakan penangkapan ikan terukur mungkin terlalu ambisius untuk diterapkan dengan kondisi sistem data yang ada saat ini. Sebelum melangkah lebih jauh, pemerintah harus segera memperbaiki sistem pencatatan dan pelaporan data perikanan, termasuk meningkatkan kapasitas teknologi dan sumber daya manusia. Tanpa pembenahan mendasar ini, kebijakan yang bertujuan mulia ini berisiko menjadi instrumen yang tidak efektif dan bahkan kontraproduktif.
2. Keberadaan Tangakahan Tidak Resmi
Sebagian besar nelayan di Indonesia adalah nelayan tradisional dengan kapal berukuran kurang dari 5 Gross Tonnage (GT). Namun, di banyak wilayah terpencil, masalah besar terkait pencatatan hasil tangkapan ikan masih menjadi kendala utama. Di daerah-daerah tersebut, nelayan sering kali menyandarkan kapal mereka di belakang rumah, jauh dari pemantauan dan pencatatan data hasil tangkapan yang seharusnya dilakukan oleh otoritas setempat. Contohnya, di Kabupaten Aru, Maluku, data dari DFW Indonesia mencatat adanya 12 labuhan kapal yang tidak terdaftar secara resmi, serta 5 labuhan kapal ikan ilegal di Kabupaten Kepulauan Aru. Kondisi serupa juga terjadi di banyak wilayah lain, termasuk Madura, di mana banyak kapal nelayan tradisional disandarkan di area rumah mereka. Hal ini menyebabkan kerugian ekologi dan ketidak akuratan data nasional.
Persoalan terkait ketidakakuratan pencatatan hasil tangkapan ikan ini dapat berdampak serius pada akurasi data dalam penetapan kuota. Oleh karena itu, pemerintah perlu segera mempertimbangkan permasalahan, mengingat data yang valid dan terintegrasi menjadi kunci utama dalam keberhasilan kebijakan tersebut. Tanpa apembenahan dalam sistem pencatatan dan pelaporan hasil tangkapan, kebijakan yang bertujuan untuk menjaga kelestarian sumber daya ikan dan mencegah penangkapan ikan ilegal dapat kehilangan arah, bahkan berisiko gagal dalam mencapai tujuan keberlanjutan perikanan.
3. Akses Kuota Nelayan Lokal
Kuota Penangkapan Ikan Terukur hanya dapat diakses jika nelayan tergabung dalam koperasi nelayan, sedangkan nelayan lokal di daerah-daerah masih banyak yang belum terhimpun dalam koperasi. Kebijakan Kuota Penangkapan Ikan Terukur yang hanya dapat diakses oleh nelayan yang tergabung dalam koperasi menciptakan hambatan bagi nelayan lokal. Sebagian besar nelayan tradisional di daerah terpencil tidak tergabung dalam koperasi karena keterbatasan literasi kelembagaan, infrastruktur pendukung, dan kapasitas administratif. Akibatnya, mereka bisa kehilangan akses terhadap kuota penangkapan ikan yang menjadi bagian penting dari mata pencaharian mereka.
4. Akses Pasar
Kebijakan Penangkapan Ikan Terukur (PIT) yang mewajibkan nelayan mendaratkan hasil tangkapan di wilayah tangkapan memiliki niat baik, tetapi implementasinya terkesan mengabaikan realitas di lapangan. Banyak daerah dengan potensi perikanan besar tidak memiliki infrastruktur yang memadai, seperti pelabuhan, fasilitas pendinginan, dan sistem logistik untuk menangani hasil tangkapan. Akibatnya, kewajiban ini berpotensi merugikan nelayan dan masyarakat lokal karena hasil tangkapan mereka sulit dipasarkan dengan kualitas yang terjaga.
Pemerintah seharusnya tidak hanya memberlakukan aturan yang membatasi aktivitas nelayan, tetapi juga bertanggung jawab memastikan daerah-daerah ini memiliki akses pasar yang memadai. Perbaikan infrastruktur pelabuhan, penguatan rantai pasok, dan penyediaan fasilitas penanganan ikan harus menjadi prioritas. Tanpa Langkah nyata, tujuan mulia kebijakan PIT hanya akan menjadi wacana. Kebijakan semacam ini berisiko memperdalam ketimpangan antarwilayah alih-alih menciptakan keadilan ekonomi yang seharusnya menjadi tujuan utamanya.
5. Sistem Pengawasan
Efektivitas sistem pengawasan menjadi kunci utama dalam pelaksanaan kebijakan Penangkapan Ikan Terukur (PIT). Namun, hingga saat ini, penerapan pengawasan di lapangan masih jauh dari memadai. Pemerintah mewajibkan kapal-kapal di atas 30 GT dilengkapi dengan perangkat Vessel Monitoring System (VMS) untuk melacak lokasi dan aktivitas penangkapan secara real-time. Sayangnya, implementasi aturan ini diwarnai dengan banyak kendala, mulai dari keterbatasan perangkat hingga lemahnya pengawasan terhadap kepatuhan kapal-kapal besar. Hal ini menciptakan celah besar yang bisa dimanfaatkan untuk praktik illegal, unreported, and unregulated (IUU) fishing. Belum lagi, minimnya inspeksi di pelabuhan pendaratan membuat hasil tangkapan dari wilayah tertentu sering kali lolos tanpa verifikasi yang memadai. Pemerintah perlu menyadari bahwa tanpa pengawasan yang ketat dan menyeluruh, kebijakan PIT hanya akan menjadi aturan di atas kertas yang mudah dimanipulasi.
Kebijakan Ambisius, Realitas di Lapangan Masih Tertinggal
Berbagai tantangan yang mengemuka dalam implementasi kebijakan Penangkapan Ikan Terukur (PIT) menunjukkan jurang yang lebar antara visi dan kenyataan di lapangan. Dari ketidakakuratan database, keberadaan labuhan tidak resmi, hingga hambatan akses kuota dan pasar bagi nelayan lokal, semua ini menandakan bahwa kebijakan yang digadang-gadang sebagai solusi keberlanjutan masih berjalan pincang. Sistem pengawasan yang lemah semakin mempertegas bahwa pemerintah belum siap untuk mengimplementasikan kebijakan ini secara efektif.
Tanpa pembenahan mendasar di berbagai lini, kebijakan PIT justru berisiko menjadi instrumen yang memperburuk ketimpangan dan kerusakan ekosistem. Pemerintah harus berhenti merancang kebijakan berbasis ambisi semata dan mulai menempatkan kebutuhan lapangan sebagai prioritas utama. Jika langkah perbaikan tidak segera dilakukan, kebijakan PIT hanya akan menjadi retorika kosong yang jauh dari tujuan keberlanjutan perikanan nasional. Dengan kondisi sistem dan infrastruktur saat ini, apakah implementasi kebijakan ini benar-benar ideal untuk diterapkan pada tahun 2025?