OPINI, Suararakyat.id – Pemberitaan berkaitan dengan Revisi Undang-Undang Penyiaran yang sedang dibahas di Indonesia telah menimbulkan kontroversi luas dalam masyarakat dan profesi jurnalis, kontroversi yang timbul yaitu terutama berkaitan dengan kekhawatiran atas kebebasan pers dan potensi sensor, seperti yang tenagh terjadi pada tanggal 27 Mei 2024 sejumlah organisasi jurnalistik melakukan aksi demo dan menolak Revisi UU Penyiaran. Kontroversi terhadap kebebasan pers timbul karena terdapat sejumlah pasal yang dirasa mengancam adanaya kebebasan pers untuk para jurnalis dan mempermudah profesi jurnalistik dijerat oleh pasal-pasal tersebut. kebebasan pers merupakan sebuah kegiatan menuangkan pikiran dan dan pendapat dalam media massa dalam hak ini kebebasan pers dapat diartikan sebagai hak media massa untuk menginformasikan berita secara bebas tanpa kendali pemerintah atau intervensi dari pihak manapun. Dalam RUU Penyiaran ini terdapat salah satu pasal yang sangat banyak diperdebatkan oleh masyarakat dan akademisi yaitu pasal yang terdapat pada ketentuan pasal 50B ayat 2 yang menyatakan “larangan atas penayangan eksklusif jurnalistik investigasi”, larang yang ada tersebut dianggap sangat membatasi ruang gerak profesi jurnalisme kritis dan independent dalam pemberitaan. Tidak hanya membatasi ruang gerak jurnalistik, Dewan Pers menyatakan bahwa pasal tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Pers yang ada dalam melindungi karya jurnalistik dari sensor dan pelarangan, menurut Prof Andi adanya Revisis UU Penyiaran ini sangat rentan untuk menjerat seorang jurnalis dan insan pers. Mengapa demikian jurnalis tidak dapat melakukan penelusuran dan pemberitaan invertigatif terhadap sebuah kasus yang dianggap memiliki kejanggalan.
Selain itu Revisi UU Penyiaran ini juga melakukan larangan terhaadap 10 konten dan siaran dalam pasal 50B ayat 2 yang melarang penayangan isis konten atau siaran mengandung unsur mistik, pengobatan supranatural, serta rekayasa negative informasi dan hiburan melalui Lembaga penyiaran atau platfom digital serta siaran berkaitan dengan kepentingan politik, disini dapat dilihat bahwa revisi ini juga dapat dimungkinkan menyebabkan memperluasnya cakupan pengawasan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) hingga masuk kedalam platfom-platform digital seperti Netflix, Amazon Prime dan lainnya selama berupa platfom digital. Hal ini menimbulkan kekhawatiran akan adanya pengekangan terhadap kreativitas pembuatan filem dalam platfom digital dan hak publik untuk mengakses berbagai konten dan siaran. Di sisi lain, perwakilan dari Panitia Kerja (Panja) RUU Penyiaran menyatakan bahwa revisi tersebut tidak bertujuan membungkam pers dan bahwa proses revisi masih dalam tahap pembahasan, sehingga perubahan masih mungkin dilakukan.
Mereka atau Panja Revisi UU juga menekankan perlunya regulasi yang kuat untuk penyiaran digital yang berkembang pesat. Sedangkan disisi lain, pada Pasal 50 dalam RUU Penyiaran sudah sangat jelas bertentangan dengan pasal 4 ayat 2 Undang-Undang Pers yang menyatakan bahwa terhadap pers nasional tidak dikenakan penyosoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran. Sedangakan terdapat banyak hal yang tidak diperbolehkan dalam Revisi UU Penyiaran seperti yang disebutkan diatas, Sehingga dalam pembentukan RUU penyiaran harusnya melihat dan beracuan langsung dengan UU Pers agar tidak terjadi konflik antara norma dalam RUU penyiaran dan UU pers harus mengedepankan harmonisasi antar peraturan perundang-undangan, harmonisasi ini merupakan proses penyesuaian dan penyelarasan agar tidak saling bertentangan dan tumpeng tindih antara aturan hukum yang satu dengan yang lainnya. Ditambah lagi dengan hadirnya ketentuan pasal 42 dalam RUU Penyiaran yang menyatakan Pasal 42 ayat (2) juncto Pasal 51E RUU Penyiaran, KPI berwenang untuk menyelesaikan sengketa jurnalistik di bidang penyiaran. Padahal, menurut Pasal 15 ayat (2) huruf d UU Pers, penyelesaian sengketa jurnalistik ditangani oleh Dewan Pers, disini dapat dilihat tidak adanya harmonisasi terhadap keberadaan Revisi UU penyiaran dengan membatasi kegiatan pers jurnalisik merupakan pembatasan terhadap kebebasan pers dan hak public dalam mendapatkan informasi yang dijamin dalam konstitusi.
Pengabaian harmonisasi juga dilihat dari tidak dimasukannya UU Pers sebagai acuan dalam penyelesaian sengketa Pers pada Konsideran yuridis Revisi UU Penyiaran.
Tidak dimasukkannya UU pers no 40 tahun 1999 dalam konsideran yuridis dalam Revisi UU Penyiaran disini menyebabkan terjadinya ketidaksinkronisasian aturan sehingga menyebabkan aturan hukum yang dibuat tidak berkepastian hukum dan mudah untuk memidanakan seseorang yang berprofesi sebagai jurnalistik untuk melakukan pekerjaan yang telah dijamin oleh kebabasan pers, sehingga disini memungkinkan Revisi UU Penyiaran didalamnya terdapat kepentingan-kepentingan politik serta mengabaikan kepentingan umum berkaitan dengan pembatasan ruang gerak dan hak eksklusif jurnalis dalam melakukan penyiaran di media. Salah satu kontroversi yang ada dalam RUU penyiaran secara langsung bertentangan dengan UU pers dimana larangan penanyangan jurnalisme investigasi di draf RUU penyiaran bertentangan dengan pasal 4 ayat 2 uu pers yang menyatakan bahwa terhadap pers nasional tidak dikenakan penyosoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran. Dampak lainnya larangan itu akan membungkam kemerdekaan pers. padahal sudah jelas tertera dalam ps 15 ayat 3 huruf a bahwa fungsi drwan pers adalah melindungi kemerdekaan pers dari campur tangan pihak lain. Dan pada penyelesaian sengketa jurnalistik di bidang penyiaran yang dalam Revisi UU Penyiaran Dilakukan oleh KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) ini secara langsung bertentangan juga dengan UU Pers yang mana penyelesaian sengketa di selesaikan oleh dewan pers dan bukan oleh KPI. 2 hal yang diatur pada peraturan dan ketentuan yang berbeda dapat menimbulkan konflik terhadap proses penyelesaian sengketa, maka disini DPR selaku dewan perwakilan rakyat sangat diharap untuk mampu menuntaskan permasalahan yang ditimbulkan atas pembentukan Revisi UU Penyiaran ini, dewan perwakilan rakyat juga diharap untuk selalu memperhatikan pertimbangan-pertimbangan yang akan dicantumkan dalam setiap pasal Revisi UU Penyiaran untuk tidak bertabrakan dengan aturan-aturan yang sudah ada sehingga harmonisasi kedua aturan yang berbeda dapat menjadi kepastian hukum dan bukan sebagai alat untuk memidanakan para jurnalistik dalam menjalankan tugasnya.
Penulis: Ane Nor Cahya Ilmiah, Mahasiswa Universitas Trunojoyo Madura.