OPINI, Suararakyat.id – Sering kali yang kita ketahui bahwa peci adalah ikon penutup kepala yang menjadi simbol kenegaraan bagi seorang pria. Penggunaan peci untuk kegiatan kenegaraan dipopulerkan oleh presiden RI pertama Ir. Soekarno, dan sampai sekarang masih diikuti oleh pejabat-pejabat negara yang ada saat ini. Bahkan peci menjadi bahasa politik untuk mengajak para pemilih yang mayoritas muslim di negeri ini untuk memilihnya di kemudian hari.
Namun hal ini berbeda bagi kerudung, alat penutup kepala wanita. Banyak upaya dan cara dilakukan agar ini bukan menjadi ikon nasionalis Indonesia. Kerudung kerap kali dianggap sebagai simbol keterbelakangan, kuno, dan ke Arab-arab an. Padahal tidak sedikit pahlawan wanita dahulu yang terkenal menggunakannya tanpa membatasi pergerakannya dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Seperti contoh Laksamana Malahayati, Cut Nyak Dhien, Hj. Rasuna Said, Fatmawati sang pejahit bendera proklamasi dan masih banyak lagi.
Peci dan kerudung adalah penutup kepala bagi pria dan wanita yang identik dengan Muslim, dengan mayoritas penganut agama muslim terbesar di dunia tapi hanya kerudung yang seakan sulit untuk diberlakukan di negeri ini bagi penggunanya. Dengan dalih bukan budaya kita dan simbol keterbelakangan kerudung rasanya kurang cocok di mata penguasa yang telah berhasil memajukan negeri ini dengan pembangunan dan infrastruktur dan secara tidak langsung merampas kebebasan beragama yang telah diatur oleh Undang-undang
Kita juga seakan lupa bahwa keyakinan beragama turut serta dalam perjuangan kemerdekaan sebagaimana yang diabadikan dalam naskah pembukaan UUD 1945 “Atas berkat rahmat Allah yang maha kuasa…” serta sila ke satu pancasila “Ketuhanan yang maha Esa”, seakan sulit bagi penganutnya menjalankan perintah Tuhan-Nya.
Di dalam pancasila pertama disebutkan Ketuhanan berarti negara yang beragama. Kita tidak bisa melepaskan agama dan politik sebagaimana Snouck Hougronje menerapkannya di Aceh, yang berujung kekalahan Aceh. Atau negeri modern tanpa agama. Kita tentu tau bagaimana modernnya Firaun di masa itu tapi tak percaya Tuhan, akhirnya dia dan kekuasaanya lenyap.
Jika kita tidak boleh meng-Arab-kan Indonesia, tolong jangan meng-Amerika-kan Indonesia.
Penulis: Khairul Fahmi, Banda Aceh.