LAMPUNG TIMUR, Suararakyat.id – Dibalik hamparan biru laut Desa Mergasari, Kecamatan Labuhan Maringgai, tersimpan kisah perjuangan nelayan yang dibalut dilema besar. Mereka dengan penuh dedikasi menjaga kawasan konservasi rajungan, termasuk melindungi area juvenil yang menjadi habitat penting bagi pertumbuhan rajungan muda.
Upaya ini dilakukan demi memastikan keberlanjutan sumber daya laut bagi generasi mendatang. Sejak diberlakukannya Keputusan Gubernur Lampung No. G/357/V.9/HK/2019 tentang Wilayah Pengelolaan Rajungan di Perairan Way Kambas, nelayan bersama Kelompok Masyarakat Pengawas (POKMASWAS) Desa Mergasari telah menjadi frontliner dalam pelestarian ekosistem laut, memastikan setiap aktivitas penangkapan di kawasan konservasi sesuai dengan aturan yang berlaku.
Namun, perjuangan ini kerap berbenturan dengan realitas pahit di lapangan. Harga rajungan terus mengalami penurunan drastis, sementara biaya operasional melaut kian melonjak, membuat para nelayan kesulitan untuk sekadar bertahan. Penurunan hasil tangkapan yang signifikan memperparah situasi, di mana hasil laut yang diperoleh tidak mampu menutupi kebutuhan sehari-hari, apalagi biaya operasional yang semakin membengkak. Ironisnya, meski mereka telah memikul tanggung jawab besar dalam melestarikan ekosistem laut, tekanan ekonomi yang berat terus membayangi kehidupan mereka.
Komoditas rajungan, yang seharusnya menjadi valuable resource bagi penghidupan nelayan, kini berubah menjadi beban ekonomi. Pada puncak musim panen, harga rajungan hanya berkisar antara Rp20.000 hingga Rp25.000 per kilogram, jauh di bawah harapan nelayan. Padahal, pada awal musim penangkapan, harga rajungan masih berada di kisaran Rp40.000 hingga Rp45.000 per kilogram, dengan potensi harga ideal mencapai Rp70.000 hingga Rp90.000 per kilogram. Penurunan harga ini, diduga akibat sistem distribusi yang tidak efisien, telah berdampak signifikan terhadap kesejahteraan para nelayan.
Tekanan akibat rendahnya harga rajungan, terutama di awal musim saat hasil tangkapan belum optimal, memaksa banyak nelayan untuk beradaptasi. Sebagian memilih beralih menggunakan alat tangkap lain seperti jaring udang atau jaring ikan yang lebih hemat biaya operasional. Namun, bagi nelayan yang tidak memiliki akses ke alat tangkap baru, pilihan terakhir adalah menjadi Anak Buah Kapal (ABK), pekerjaan dengan pendapatan minim yang sering kali tidak mencukupi kebutuhan keluarga.
Ketua Forum Komunikasi (Forkom) Nelayan Lampung Timur, Miswan, menyatakan keresahannya. “Rajungan di Lampung Timur itu lebih besar ukurannya dibandingkan di perairan Jawa, tapi kenapa harga rajungan di sini jauh lebih murah?” ungkapnya pada 14 November 2024.
Rendahnya harga rajungan ini tidak terlepas dari panjangnya rantai pasok (supply chain) yang memperburuk distribusi harga. Rajungan yang ditangkap harus melewati banyak perantara sebelum sampai ke konsumen akhir, dengan setiap tahapan menambah biaya dan margin keuntungan. Kondisi ini membuat nelayan terpaksa menerima harga rendah meskipun biaya operasional terus meningkat. Selain itu, minimnya fasilitas penyimpanan dan pengolahan yang memadai menyebabkan kualitas rajungan menurun sebelum sampai ke pabrik, yang berdampak langsung pada nilai jualnya.Berbagai upaya telah dilakukan untuk mengatasi permasalahan ini.
Nelayan Desa Mergasari, dengan dukungan Environmental Defense Fund (EDF) dan Mitra Bentala, beberapa kali mengadakan mediasi dengan pemilik usaha olahan rajungan. Sayangnya, upaya dialog ini belum memberikan hasil yang signifikan. Kebijakan harga yang tidak berpihak pada nelayan masih menjadi tantangan besar yang belum terselesaikan.
Solusi Holistik untuk Masa Depan Perikanan Rajungan yang Berkelanjutan
Masalah rendahnya harga rajungan memerlukan solusi yang strategis dan holistik. Pemerintah perlu memotong rantai pasok yang panjang dengan membuka akses langsung bagi nelayan ke pasar yang lebih luas, sehingga mereka dapat memperoleh harga yang lebih adil. Kebijakan stabilisasi harga juga harus diterapkan untuk menjaga nilai jual rajungan tetap kompetitif. Selain itu, fasilitas penyimpanan dan pengolahan yang memadai harus disediakan agar kualitas rajungan tetap terjaga hingga ke tangan konsumen.
Kolaborasi antara pemerintah, sektor swasta, dan organisasi non-pemerintah sangat diperlukan. Upaya yang dilakukan oleh EDF dan Mitra Bentala, meski belum membuahkan hasil signifikan, adalah langkah awal yang baik. Dengan pendekatan strategis berbasis keberlanjutan ekonomi nelayan, dialog terbuka antara nelayan dan pemilik usaha harus difasilitasi untuk mencapai solusi yang saling menguntungkan.
Keteguhan nelayan Lampung Timur dalam menjaga kelestarian rajungan, meskipun di tengah tekanan ekonomi yang berat, adalah upaya luar biasa yang layak mendapat apresiasi. Namun, mereka tidak seharusnya berjuang sendiri. Pemerintah diharapkan segera mengambil langkah konkret untuk memastikan kebijakan yang mendukung kesejahteraan nelayan. Dari perbaikan rantai distribusi hingga stabilisasi harga, keberlanjutan ekosistem laut dan kesejahteraan nelayan harus menjadi national priority, demi mewujudkan masa depan sektor perikanan yang adil, kompetitif, dan berkelanjutan.